Berbagi Nilai Olimpism bersama Komisi Olimpiade Indonesia KOI

Fakultas Komunikasi Universitas Pancasila pada hari Kamis, 19 November 2009 kedatangan tamu istimewa yang membawa misi mulia dalam menyebarluaskan nilai-nilai olimpism. Hari itu, kegiatan perkuliahan cukup padat namun, tidak mengurangi semangat dan antusiasme mahasiwa-mahasiswi FIKOM untuk mengikuti acara bertemakan “Olympic Education” atas kerja sama Senat Mahasiswa FIKOM-KMUP dengan Komisi Olimpiade Indonesia (KOI).
Acara dibuka oleh Ibu Pusparanie C. Hakim selaku Ketua Komisi Kebudayaan & Pendidikan Olympism KOI. Untuk mencairkan suasana, tim volunteer dari KOI mengajak peserta bernyayi dan menari bersama.
Sesi pertama dibawakan oleh Tyas, mahasiswi semester akhir Fakultas Ilmu Olahraga UNJ yang memiliki segudang prestasi akademis dan non akademis, khususnya di bidang olahraga. Ia memberikan gambaran secara umum tentang bagaimana menjadi pribadi yang tangguh dengan semangat Olympism yaitu fair play, excellent, friendship dan respect.
Sesi ke dua bertema “membangun konsep diri yang positif” dibawakan oleh Ibu Evita selaku dosen Fakultas Psikologi UNJ. Suasana semakin meriah saat berlangsung permainan singkat yang penuh dengan nilai-nilai olympism. Tampak peserta sangat menikmati rangkaian acara yang disuguhkan.
Sesi ke tiga dibawakan oleh Ibu Michiko dengan tema komunikasi yang efektif. Dilanjutkan dengan diskusi kelompok yang mengangkat sebuah kasus di bidang olahraga. Melalui diskusi tersebut, peserta dapat mengembangkan kemampuan komunikasi verbal maupun non verbal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai olympism yang telah diajarkan.
Acara ditutup dengan bernyayi dan menari bersama. Sangat terasa semangat dan nilai-nilai olympism mulai tertanam di benak para peserta. Tim Komite Olimpiade Indonesia juga memberikan apresiasi kepada delapan peserta terbaik dengan menawarkan mereka untuk bergabung menjadi volunteer yang memiliki misi menyebarkan nilai-nilai olympism.

ANTARA TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI POLISI

polisi“Saya cuma cari makan Pak. Halal, ndak nodong” Ujar seorang pedagang asongan membela diri saat dinasihati oleh beberapa orang Polisi di daerah Juanda.  Memang terasa dilematis disaat aparat harus menjalankan tugasnya untuk menertibkan dan menjaga suatu wilayah tetap aman dan nyaman, namun di sisi lain nuraninya menjerit mendengar ucapan  pilu dari orang-orang yang dianggap melanggar ketertiban demi sesuap nasi satu hari. Banyaknya pedagang asongan menjual dagangannya di ruang publik yang tidak semestinya, menyebabkan terganggunya ketertiban dan kenyamanan masyarakat pengguna sarana dan prasarana umum. Banyak keluhan dari para pejalan kaki yang merasa haknya diambil dengan keberadaan pedagang asongan. Atau yang lebih parah lagi, sering kali pelaku kriminal memanfaatkan kesempatan menyamar menjadi pedagang asongan disaat lalu lintas padat. Keresahan masyarakatlah yang tak lain menjadi perhatian Polisi untuk secara professional menjaga ketertiban. Namun demikian, Polisi juga seorang manusia biasa yang mengenal nurani, maka komunikasi secara lebih dekat kepada para pedagang asongan menjadi pilihan demi ketertiban bersama tanpa merugikan satu pihak.

Polisi bertanggungjawab atas wajah ketertiban suatu wilayah hingga menciptakan kesan positif di mata masyarakat.  Dalam hal pariwisata, keamanan dan ketertiban menjadi salah satu faktor penting yang menunjang tingkat preferensi masyarakat, baik wisatawan domestik maupun asing untuk mengunjungi suatu wilayah. Keberadaan pedagang-pedagang asongan yang berjualan tidak pada tempatnya, apalagi dirasakan mengganggu ketertiban umum, membawa dampak negatif bagi persepsi wisatawan. Tindakan Polisi yang cenderung tegas dan penuh kesan disiplin serasi dengan sifat hukum yang memiliki sanksi tegas dan memaksa. Ketegasan tersebut menjadi bagian dari tanggung jawab mereka untuk menjalankan tugas secara professional demi kepentingan masyarakat. Tidak adil rasanya apabila justifikasi bahwa “Polisi tidak punya nurani” banyak terlontar dari masyarakat. Hingga Polisi harus berhadapan dengan sinisme masyarakat di antara tanggung jawab dan hati nuraninya.

Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki peran penting untuk memfasilitasi para pedagang asongan untuk berjualan di tempat yang lebih nyaman, aman dan semakin mendukung keindahan kota. Dengan begitu, Polisi tidak menjadi kambing hitam demi terciptanya ketertiban bersama. Tanggung jawab Polisi untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kenyamanan masyarakat dapat  dilaksanakan dengan baik seiring dengan nuraninya tanpa ada pergolakan dan dilematika. Terima kasih Pak Polisi.

Selamat berkarya!

1_930444070mSalam, Sahabat!

Selamat datang di Blog pertama saya setelah dua tahun saya berstatus siswa tertinggi di hierarki pendidikan.. setidaknya belum terlambat, bukan?^.^

“mahasiswa” layaknya memiliki karya hasil pemikiran kritis..berlandaskan teori yang didapat selama duduk di bangku kuliah..menjadi modal awal memahami status saya sebagai bagian dari “social science”. Beberapa tulisan yang saya posting di kategori “komunikasi” merupakan hasil-hasil pemikiran dari beberapa mata kuliah Komunikasi yang saya ikuti. seringkali saya merangkum kesimpulan di setiap materi kuliah yang disampaikan dosen-dosen luar biasa, di beberapa mata kuliah Komunikasi yang paling saya gemari. Hingga saya dapat menuliskan beberapa topik di kategori tersebut. (Sudah pasti bukan murni pemikiran saya, banyak faktor yang memengaruhi proses berpikir saya hingga menghasilkan pemahaman yang jelas.

Ada beberapa referensi buku yang saya gunakan sebagai landasan berpikir dan menulis. Teori serta  para ahli yang ada dibalik pemikiran-pemikiran cerdas itu menyadarkan saya untuk tidak hanya menghapal karya-karya hebat mereka dari balik buku. Tetapi juga memahami teori2 itu lebih dalam demi kekayaan intelektualitas seorang mahasiswi Fakultas Komunikasi.

Semoga tulisan-tulisan ini dapat memberikan sesuatu yang berharga bagi teman-teman.

Salam, ita.

Aktualisasi Diri di Balik “Status facebook”

Saat saya mulai log in di account Facebook saya, box “what’s in your mind?” memiliki daya tarik sendiri untuk diupdate..yaa..menuliskan sepenggal perasaan saya saat itu membuat saya lebih” lega”..apakah lega dalam arti yang sesungguhnya? tentu saja tidak..^.^

Wah..wah..wah..facebook menjadi fenomena yang menarik untuk ditilik lebih dalam..aspek-aspek komunikasi dan psikologi yang ada di dalamnya..

tapi..yaaa..itu dibahas di forum2 diskusi kuliah atau penelitian ilmiah aja kali ya.. kalau hanya sekedar obrolan “warung kopi” sih..sebatas membahas fenomena secara umum saja.. ada yang menggelitik pikiran saya ketika saya menuliskan “apa yang saya pikirkan, rasakan, atau lakukan..(mirip seperti tagline KPJ ya??^.^ hehe…ada juga kok di materi kuliah Psikologi Komunikasi–Helpris Estaswara–).. balik lagi ke yang menggelitik tadi.. pertanyaan “kenapa ya..ketika apa yang ada di benak saya,,dipublikasikan di facebook..(artinya teman2 saya mengetahui apa yg sedang saya pikirkan,rasakan, atau lakukan) saya merasa salah satu “kebutuhan” saya terpenuhi..mungkin kebutuhan aktualisasi diri. Saya yakin teman-teman pun merasa demikian..ya toh..?*.*

Bukankah itu sebenarnya salah satu bentuk komunikasi intrapersonal (komunikasi kepada diri sendiri) yang dipublikasikan..ada kepuasan disaat kita menuliskan apa yang sedang kita rasakan..salah satu kecanggihan teknologi yang mampu memberikan ruang bagi setiap orang didalamnya memberi “label” pada dirinya.. membentuk “image” terhadap dirinya..dan mengumumkannya kepada dunia..

kalau itu terjadi di dunia sesungguhnya..mungkin dalam bentuk papan yang dikalungkan di leher setiap orang dan dibawa kemanapun ia pergi. sesekali ia ingin mengganti “statusnya”..ya..tinggal hapus saja..haha.. ngga enak juga ya diliatnya..

Ya..yang namanya manusia..aktualisasi diri menjadi sangat penting. Facebook tidak hanya sekedar menghubungkan satu orang dengan orang lain..tapi juga menjadi media aktualisasi diri yang “pas!”  lebih dari itu, manusia pada dasarnya adalah zoon politicon.. ga bisa sendirian..apalagi tanpa apresiasi atau perhatian orang di sekelilingnya..waah..bisa Gila!!

kebutuhan berinteraksi dengan orang lain tanpa melupakan “kenarsisan” diri itu penting…sepertinya^.^

Yaah..selamat ber’facebook ria deh..

salam, ita.

TVRI..Media Edukasi di Tengah Krisis Multidimensi

oleh: Noor Aprilia Puspitasari

Sempat terlintas di benakku, betapa remote tv mulai menjadi salah satu objek pelampiasan kekesalan, karena layar kaca ajaib itu mulai dikuasai oleh artis-artis sinetron, yang gemar melirikkan bola matanya ke sana ke mari, mengenakan high-heels di dalam rumahnya sendiri, sampai dengan saling tangis menangisi.

belum lagi berita kriminal, dari mulai pembunuhan, pemerkosaan, sampai dengan penipuan seolah memojokkan emosi penontonnya ke batas yang paling rendah., berbagai ajang kompetisi mulai menjamur mengagungkan  polling sms penonton, yang lebih menyedihkan lagi tayangan infotainment cukup mendapatkan rating yang tinggi..

Ke mana fungsi edukasi televisi??kontrol sosial?? mungkin ada..tapi hanyut diterjang arus kapitalisasi yang berorientasi keuntungan semata! Metro Tv, disusul TV One,, sebagai stasiun televisi swasta yang banyak dianggap masyarakat memiliki unsur edukasi dan informasi yang tinggi..belum tentu telah menjalankan fungsi edukasi seutuhnya.Saya sama sekali bukan bicara tentang kesempurnaan..atau tidak dilengkapinya fungsi-fungsi media massa oleh stasiun tv dengan sempurna.. Metro Tv dan Tv One menjadi dua contoh media yang memiliki target audience (segmentasi) yang jelas. mereka melakukan positioning sedemikian rupa hingga memiliki keunikan serta kekhasan dibandingkan stasiun2 Tv lainnya. Menayangkan segala bentuk informasi yang sifatnya news kepada publik. Ya..sebagian besar masyarakat di perkotaan berpendapat bahwa dua stasiun Televisi tersebut memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding yang lain. Apa sebabnya? lebih karena program2 yang ditayangkan sarat dengan informasi. Tidak melulu hiburan. Tapi apakah segala yang diangkat( politik, ekonomi, sosia) oleh Metro TV dapat memenuhi kebutuhan edukasi bagi anak-anak?mereka akan lebih memilih Naruto, Detective Conan, atau Avatar..!

Lalu pertayaannya..edukasi macam apa yang kiranya dibutuhkan oleh masyarakat?? Program2 yang mengangkat pengetahuan Bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak nampak di televisi2 swasta,,padahal pada kenyataannya bahasa Ibu kita mulai luntur disikat westernisasi. Film2 anak yang memiliki nilai edukasi tinggi juga semakin jarang ditemui.. Krisis multidimensi yang sedang terjadi di bumi pertiwi saat ini ternyata tidak hanya terjadi di dunia ekonomi, plitik dan sosial…moral pun ikut mengalami krisis. Salah satu perspektif media beranggapan bahwa, ada rating tinggi=banyak iklan yg masuk, itu artinya modal menjadi penting untuk keberlangsungan media tersebut.

Lihat saja fakta yang terjadi pada stasiun kebanggaan Bangsa Indonesia di era 60-an hingga awal 90-an itu. Program-program yang memiliki nilai edukasi tinggi dikemas kurang “menjual” hanya karena minimnya biaya produksi. Kurangnya stakeholders yang berminat menaruh iklannya di TVRI juga dikarenakan sedikitnya jumlah penonton program2 TVRI dibandingkan program2 di stasiun TV lainnya.

Ada pengalaman yang cukup memotivasi saya untuk menulis topik ini.. sejak 10 tahun terakhir, saya tidak pernah menyaksikan berbagai program yang ditayangkan di TVRI karena kendala jaringan yang tidak memadai. Hanya TV swasta seperti RCTI, SCTV, INDOSIAR, dll yang menjadi referensi tayangan televisi saya dan keluarga. Sejak SMA saya mulai merasakan kejenuhan terhadap program-program televisi yang ada. Saya mulai mengurangi intensitas menonton televisi, beralih mencintai dunia radio dan internet dengan berbagai jenis aplikasinya. Namun, beberapa bulan belakangan, TV dirumah saya telah mampu menampilkan berbagai program TVRI dengan jernih dan kualitas gambar yang baik. ada banyak program yang ternyata menarik minat saya. BINAR (Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar), Gebyar Keroncong (kegemaran Kakek saya), Jurnalis Cilik (lomba), dan beberapa program lainnya. Format acara yang nampak sederhana. Namun apabila dirasakan dan dikaji lebih dalam..sarat dengan unsur informasi dan edukasi tanpa mengurangi unsur hiburan di dalamnya. Apa yang ada di benak anda? Saya KUNO? Jadul? GA Gaul???haha… Ya..saya hargai apapun pendapat yang ada..

Dengan perubahan status TVRI dari Perusahaan Jawatan ke TV Publik, maka TVRI diberi masa transisi selama 3 tahun dengan mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2002 yang menyebutkan TVRI berbentuk PERSERO atau PT.

Melalui PERSERO ini Pemerintah mengharapkan Direksi TVRI dapat melakukan pembenahan-pembenahan baik di bidang Manajemen, Struktur Organisasi, SDM dan Keuangan. Sehubungan dengan itu Direksi TVRI tengah melakukan konsolidasi, melalui restrukturisasi, pembenahan di bidang Marketing dan Programing, mengingat sikap mental karyawan dan hampir semua acara TVRI masih mengacu pada status Perjan yang kurang memiliki nilai jual.  (Wikipedia)

Apa yang kiranya membuat TVRI dianggap kurang memiliki nilai jual? lagi pula..apa orientasi dari nilai jual itu sendiri? saya rasa sebatas “profit”. Masyarakat Indonesia senang dibuai oleh gaya hidup hedonistik. (mungkin tidak hanya di Indonesia) masyarakatnya mengutamakan kepuasan terhadap materi..kesenangan duniawi..mengagungkan prestise ketimbang prestasi. Lalu akan dibawa kemanakah media edukasi kita ini melalui keputusan diubahnya status Perjan menjadi Persero terhadap TVRI?

Apa-apaan ini..di mana peran dan tanggung jawab pemerintah??! Belajar mencari modal sendiri??modal yang ada di tangan-tangan kapitalis sejati??yang tidak lagi peduli moral dan edukasi?? ada baiknya pemegang-pemegang kepentingan di TVRI mampu megkombinasikan antara bagaimana mendapatkan modal yang besar, namun tetap memertahankan program2 yang kiranya mengandung unsur pendidikan sehingga mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat. Setidaknya..program yang ditayangkan memiliki kualitas tayang sebagaimana televisi-televisi swasta lainnya.

being creative in advertising

See d video n trying to think about ads..

.

Iklan Produk Kecantikan dan Teori Simulacra

imagesMedia massa khususnya televisi saat ini semakin penuh dijejali oleh iklan berbagai produk komersil. Televisi mampu mengemas sebuah pesan iklan sedemikian rupa hingga sering kali melebihi batas rasionalitas. Iklan produk kecantikan wanita menjadi satu di antara ribuah iklan televisi yang dikemas secara apik namun tampak berlebihan. Beberapa di antaranya, produk Tje Fuk, Pond’s, Biore, Citra body lotion, dan masih banyak lagi produk kecantikan wanita berlomba-lomba menawarkan dan menjanjikan kulit wajah serta tubuh yang putih sehingga tampak lebih cantik dalam waktu yang relatif singkat. Visualisasi yang dimunculkan dalam iklan berbagai produk kecantikan tersebut biasanya menggunakan model wanita dalam atau luar negeri yang barang tentu memiliki kulit yang bersih, putih dan hampir tanpa noda sedikit pun.
Berbagai iklan produk kecantikan tersebut juga tidak lepas dari sentuhan teknologi komputer yang mampu menampilkan efek-efek grafis tertentu (slow motion, extreme close up, dll) sehingga memiliki pengaruh persuasif yang lebih tinggi. Sebut saja produk Biore Anti-Acne, dalam iklannya menampilkan bagaimana butiran-butiran halusnya mampu mengangkat bakteri penyebab jerawat dari pori-pori terdalam kulit. Seolah-olah kamera menembus jauh ke dalam sel-sel kulit manusia. Hingga akhirnya wajah akan tampak bersih, mulus, dan bercahaya. Atau produk Citra Whitening Body Lotion, yang menampilkan bagaimana wanita dengan kulit kusam dan gelap dijauhi dan dicibir oleh para pria, sedangkan wanita dengan kulit putih dan bersih karena menggunakan produk tersebut dipuja bahkan dikejar-kejar oleh pria-pria tersebut.
Beberapa kasus tersebut sangat berkaitan erat dengan teori simulasi teknologi (technologies of simulacra) yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard. Melalui teorinya ia menyatakan bahwa budaya kontemporer yang semakin berkembang merupakan hasil simulasi teknologi (media massa). Teknologi media massa berupaya mengemas sebuah realitas jauh dari realitas yang sebenarnya (hyper reality). Baudrillard memodifikasi teori McLuhan yang menyebutkan “medium is the message” menjadi “medium is the model”. Baudrillard ingin menyampaikan bahwa media merupakan model dari perilaku, persepsi, serta pengetahuan masyarakat terhadap lingkungannya. Sehingga realitas yang ada di dalam masyarakat diangkat oleh media massa, namun realitas tersebut dikemas secara berlebihan. Contoh dari realitas yang dikemas secara berlebihan ialah iklan dan video klip. Visualisasi yang digunakan oleh sebuah iklan dan video klip merupakan gambaran atau model dari realitas yang ada di masyarakat, namun hampir semua iklan dan video klip mengemasnya secara berlebihan, sehingga semakin menjauhkan realitas yang ada di iklan atau video klip dari realitas sebenarnya.
Ditinjau melalui sudut pandang budaya, media massa telah membentuk opini dan persepsi masyarakat tentang arti kecantikan. Bayangkan, hanya dengan memiliki kulit yang putih, cukup untuk mendefinisikan istilah “cantik”. Itulah sebabnya sempat gencar diberitakan di media massa merebaknya produk-produk pemutih wajah yang tidak sesuai dengan standar kesehatan, atau bahkan mengandung bahan kimia yang membahayakan, contohnya mercury. Banyak kaum remaja kita yang ingin instan memiliki kulit yang putih. Alih-alih ingin memutihkan wajah, malah membuat kulit menjadi memerah dan membahayakan kesehatan kulit.
Iklan di awal perkembangannya hanya sebatas memberikan informasi apa adanya tanpa ada unsur grafis dan teknologi komputer yang mampu mengemas sebuah iklan menjadi luar biasa. Saat ini iklan tanpa adanya unsur melebih-lebihkan akan terasa datar dan kurang menarik, bagaikan sayur tanpa garam. Hal tersebut pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri dan dihindari. Oleh karena itu, jadilah audience yang aktif dan mampu berpikir logis terhadap berbagai informasi yang diterima melalui media massa, sehingga tidak begitu saja terpengaruh oleh segala bentuk informasi media massa.

Media Attack (Serangan Media)

images tvvSaat ini dunia telah memasuki zaman post-modern. Konsumerisme merajalela, gaya hidup masyarakat barat pun masih tetap menjadi kiblat bagi masyarakat dunia, khususnya di negara-negara dunia ke tiga. Ironisnya, Globalisasi semakin memperparah kondisi tersebut. Tidak adanya batas ruang dan waktu bagi setiap orang untuk mengakses informasi melalui berbagai jenis media tak urung semakin mengaburkan identitas seseorang, terlebih lagi sebuah negara. Tak dapat disangkal bahwa masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar saat ini cenderung menunjukkan preferensi pada produk-produk asing daripada produk-produk dalam negeri. Pusat-pusat perbelanjaan (mall) berdiri kokoh dimana-mana dan dipadati oleh berbagai lapisan masyarakat dengan berbagai tingkat kemampuan ekonomi, produk-produk asing mulai dari makanan, minuman, pakaian, film, hingga musik, laris manis di pasaran. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia saat ini??Mengapa budaya dan tradisi ketimuran yang dahulu dibangun oleh nenek moyang kita, saat ini mulai menghilang??!
Amerika Serikat sebagai salah satu negara paling berpengaruh di dunia sudah dipastikan memiliki andil besar dalam kasus di atas. Ribuan produknya membanjiri pasar dunia dan tak dapat dipungkiri menjadi produk andalan. Hingga dapat dikatakan bahwa hegemoni dan kapitalisme negara-negara maju seperti AS telah terjadi di Indonesia, dan di banyak negara-negara dunia ke tiga lainnya. Media massa seolah menjadi sekutu bagi negara-negara maju tersebut memperluas pengaruhnya dan menanamkan nilai-nilai, budaya, hingga pola pikirnya ke negara-negara di seluruh dunia. Strategi perang dengan tujuan menaklukkan negara jajahan, saat ini tidak lagi digunakan begi sebuah negara untuk menguasai negara lainnya, melainkan melalui hegemoni nilai yang diyakini lebih kuat.
Serangan media dapat dilakukan melalui beberapa aspek kehidupan, diantaranya ialah serangan politik dan ekonomi, hegemoni nilai dan norma, serta imperialisme budaya. Pada dasarnya media massa dipengaruhi oleh dua kekuatan besar, yaitu kekuatan politik (pemerintah) dan kekuatan pemilik modal. Sebagai contoh pada zaman orde baru, pemerintah memiliki monopoli atas media massa, sehingga informasi yang dimuat di media sangat tidak berimbang, dan sangat memihak suatu kelompok kepentingan. Tidak jauh berbeda halnya dengan kapitalisme barat yang terjadi melalui media saat ini. Media massa sangat mampu membentuk citra negara-negara maju menjadi sangat baik dan segala bentuk gaya hidupnya menjadi lumrah untuk ditiru sehingga apabila seseorang tidak mengikuti gaya hidup seperti itu dianggap kampungan dan ketinggalan zaman. Padahal apabila ditelisik lebih dalam, terdapat misi besar dari negara-negara maju tersebut untuk memperlemah dan menghilangkan identitas suatu negara sehingga layaknya seorang budak yang selalu patuh terhadap majikannya karena budak tersebut merasa tidak lebih mulia atau bahkan merasa bahwa majikannya adalah orang yang selalu benar.
Saat ini imperialisme budaya yang dilakukan oleh negara-negara barat terhadap negara-negara berkembang/negara dunia ke tiga seperti Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Apabila kita tidak lekas menyadari dan mulai memperkuat identitas budaya kita, maka tidak menutup kemungkinan kita akan kehilangan identitas diri sebagai bangsa Indonesia.

Technological Determinism Vs Cultural Materialism

images vsMasyarakat pada hakikatnya akan selalu mengalami perubahan, yang dapat kita sebut sebagai perubahan sosial. Perubahan tersebut disebabkan oleh banyak faktor diantaranya, adanya penemuan baru(discovery), migrasi, kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas), bencana alam, dan lain sebagainya. Kemunculan teknologi merupakan salah satu bentuk penemuan baru di dalam masyarakat yang dianggap sebagai agen perubahan sosial. Technological determinism adalah sebuah teori serta paham yang mendukung pernyataan tersebut. Sedangkan di lain pihak, Cultural materialism menyatakan bahwa perubahan sosial dipengaruhi oleh kebutuhan sosial, ekonomi dan politik. Sehingga teknologi tidak lagi menjadi agen perubahan sosial. Paham ini menekankan pada studi budaya, serta bagaimana hubungan antara teknologi dengan budaya sehingga menghasilkan perubahan sosial.
Masyarakat beranggapan bahwa teknologi memiliki peranan penting dan pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupannya. Pada kenyataannya hal tersebut sulit untuk dipungkiri. Sebagai contoh, dalam aktivitas kita setiap hari selalu bersentuhan dengan teknologi. Alarm yang membangunkan kita setiap pagi, kendaraan yang kita gunakan, televisi yang kita jadikan sebagai salah satu sumber informasi, komputer, telepon selular, dan masih banyak lagi. Kenyataan tersebut mendasari lahirnya teori atau paham determinism yang dipelopori oleh seorang teoritikus bernama Thorstein Veblen di tahun 1920. Menurutnya, teknologi menjadi robot penggerak manusia dalam beraktivitas, sehingga kita seolah tidak berdaya untuk menolak keberadaannya. Kehadiran teknologi ini lah yang memicu terjadinya perubahan sosial atau budaya di dalam masyarakat.

Seiring perkembangan teknologi, seorang teoritikus asal Kanada, Marshall McLuhan, hadir dengan teorinya mengenai teknologi komunikasi (media massa). Ia menyatakan melalui teorinya bahwa segala bentuk teknologi merupakan kepanjangan tangan dari kemampuan manusia. Menurutnya, pesan media bukan ada pada isi media tersebut, melainkan ada pada media itu sendiri. Media mampu mengubah cara pandang kita terhadap dunia atau lingkungan kita. Sebagai contoh, apa yang terjadi saat kita menyaksikan tayangan televisi yang memberitakan tentang pencabulan anak di bawah umur?? Maka dalam percakapan kita dengan orang lain akan membahas mengenai hal tersebut. Dengan demikian perubahan sikap akan terjadi saat kita semakin memperhatikan dan mengawasi aktivitas anak-anak kita sehingga dapat terhindar dari tindakan pencabulan seperti yang diberitakan oleh televisi. McLuhan juga menyebutkan dalam teorinya bahwa media menjadi penghubung antara kita dengan dunia luar. Ia menyebutnya sebagai fenomena “global village” yang berarti bahwa media menjadikan dunia seolah sebuah kesatuan yang memiliki sistem politik, ekonomi, serta sosial budaya, serta masyarakatnya selalu dapat terhubung satu sama lain melalui media elektronik tanpa batas.
Menurut McLuhan dan Fiore dalam Richard West dan Turner (2007: 464-466), membagi empat era komunikasi yaitu, [1] tribal era, berbicara menjadi media komunikasinya, sehingga manusia menggunakan kemampuan mendengar sebagai media menerima pesan. Masyarakat meyebarluaskan tradisi,budaya,serta adat istiadat melalui percakapan. [2] Literate era, menulis dan membaca menjadi media komunikasinya, Mata menjadi panca indera yang dominan digunakan untuk membaca berbagai hal yang ingin dikomunikasikan. [3] Print era, muncul mesin cetak dan merupakan awal dari revolusi industri, buku menjadi media komunikasi yang dicetak secara masal dan dapat disebarluaskan sehingga seluruh masyarakat dapat menggunakannya sebagai sumber informasi. [4] electronic era, media komunikasi berbentuk barang-barang elektronik seperti radio, tv, telegram, dan lain-lain. Era ini memungkinkan setiap orang di belahan dunia manapun dapat berhubungan dengan orang lain di belahan dunia yang berbeda, sehingga muncul konsep “global village” yang telah disebutkan di atas.

Seiring dengan perkembangan teknologi, terlebih saat era elektronik dimulai, muncul teknologi internet yang semakin memudahkan manusia dalam mengakses segala bentuk informasi di belahan dunia manapun. Teknologi internet menawarkan “dunia” lain (dunia maya) yang tampak lebih sempurna dibandingkan dunia sebenarnya.
Dunia maya memungkinkan kita menciptakan lebih dari satu identitas diri serta karakter yang berbeda-beda. Segala bentuk halusinasi, imajinasi seseorang dapat divisualisasikan melalui internet (cyberspace). Terlebih lagi, Dunia maya mampu membuat kita mengetahui banyak hal mengenai suatu tempat di belahan dunia lain, walaupun kita tidak sedang berada di sana atau pernah mengunjungi tempat tersebut.
Seorang teoritikus yang teorinya sangat provokatif dan tak kalah mengundang kontroversi ialah Jean Baudrillard dengan teori simulasi teknologinya (technologies of simulacra). Melalui teorinya ia menyatakan bahwa budaya kontemporer yang semakin berkembang merupakan hasil simulasi teknologi (media massa). Teknologi media massa berupaya mengemas sebuah realitas jauh dari realitas yang sebenarnya (hyper reality). Baudrillard memodifikasi teori McLuhan yang menyebutkan “medium is the message” menjadi “medium is the model”. Baudrillard ingin menyampaikan bahwa media merupakan model dari perilaku, persepsi, serta pengetahuan masyarakat terhadap lingkungannya. Sehingga realitas yang ada di dalam masyarakat diangkat oleh media massa, namun realitas tersebut dikemas secara berlebihan.
Contoh dari realitas yang dikemas secara berlebihan ialah iklan dan video klip. Visualisasi yang digunakan oleh sebuah iklan dan video klip merupakan gambaran atau model dari realitas yang ada di masyarakat, namun hampir semua iklan dan video klip mengemasnya secara berlebihan, sehingga semakin menjauhkan realitas yang ada di iklan atau videi klip dari realitas sebenarnya. Simulasi yang dilakukan oleh media massa pada kenyataannya diterima oleh masyarakat. Segala bentuk aktivitas sosial manusia yang memerlukan proses, saat ini kurang diminati. Contohnya, banyak orang lebih memilih mengirim e-mail daripada berkomunikasi secara langsung, orang lebih memilih menonton televisi seharian penuh daripada melakukan interaksi sosial dengan orang lain, dan lain sebagainya.

Setelah Thorstein Veblen, McLuhan, dan Boudrillard muncul dengan paham determinism, berikutnya muncul seorang teoritikus beraliran sosialis bernama Raymond Williams. Ia menyanggah teori yang dianut oleh ketiga teoritikus di atas yang cenderung mengarah kepada paham kapitalis. Menurutnya, perubahan sosial bukanlah semata-mata disebabkan oleh keberadaan teknologi di dalam masyarakat, tetapi juga memertimbangkan pengaruh budaya, ekonomi, serta politik masyarakat yang bersangkutan.
Media massa yang identik dengan penggunaan teknologi dipengaruhi oleh dua kekuatan besar yaitu, keuntungan (profit) dan kekuatan politik atau pemerintah (power). Media massa atau teknologi semata-mata hanya menjadi media bagi pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam memicu terjadinya perubahan sosial. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Williams bahwa perubahan sosial disebabkan adanya perubahan budaya, persepsi masyarakat, ekonomi, serta kontrol pilitik.
Williams juga mengritik teori yang diungkapkan oleh McLuhan sebelumnya yang tidak menghiraukan beberapa faktor pemicu perubahan sosial diantaranya, kebutuhan sosial, kepentingan ekonomi, kontrol politik, dan kebijakan pemerintah. Jika paham determinism menekankan teknologi sebagai agen perubahan sosial, lain halnya dengan Williams dengan teori kultural materialismenya yang beranggapan bahwa perubahan sosial akan terjadi saat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi dipublikasikan melalui teknologi komunikasi massa.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!